Kamis, 06 Juni 2013

Permasalahan dan Solusi Pengelolaan Lingkungan Hidup di Profinsi Bengkulu



Kerusakan Hutan
            Masalah utama lingkungan di Propinsi Bengkulu adalah masalah kerusakan hutan. Sebagai contoh di Kabupaten Lebong yang mempunyai hutan seluas 134.834,72 ha yang terdiri dari 20.777,40 ha hutan lindung dan 114.057,72 ha berupa hutan konservasi, sebanyak 7.895,41 ha hutan lindung dan 2.970,37 ha cagar alam telah mengalami kerusakan. Kerusakan hutan di kabupaten/kota lain di Propinsi Bengkulu lebih parah lagi.
            Kondisi kawasan hutan yang telah rusak tersebut disebabkan antara lain oleh adanya ilegal logging dan perambahan hutan.Perambahan hutan pada umumnya bertujuan untuk keperluan perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kopi dll. Bahkan TNKS juga tidak luput dari kegiatan ilegal logging. Hal ini dapat dibuktikan dengan gundulnya hutan di wilayah TNKS.
            Kerusakan hutan di Bengkulu juga disebabkan oleh kebakaran hutan. Kebakaran hutan ini dari tahun ke tahun bertambah luas. Pada tahun 1997 luas kebakaran hutan seluas 2.091 ha dengan 31 titik api. Pada tahun 2006 sebagai akibat kemarau yang panjang kebakaran hutan di Bengkulu semakin luas yang mengakibatkan tebalnya asap di udara yang  dapat menimbulkan berbagai masalah.
            Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Bengkulu antara lain adalah adanya peningkatan kegiatan pertanian seperti perkebunan, pertanian rakyat, perladangan, pemukiman, transmigrasi dll., terjadi secara alamiah seperti musim kemarau yang panjang, kecerobohan masyarakat dll. Dampak negatif kebakaran hutan dan lahan di Bengkulu antara lain adalah penurunan keanekaragaman hayati (ekosistem, spesies dan genetik), habitat rusak, terganggunya keseimbangan biologis (flora, fauna, mikroba); gangguan asap, erosi, banjir, longsor, terbatas jarak pandang; meningkatnya gas-gas rumah kaca, CO dan hidrokarbon, gangguan metabolisme tanaman dan perubahan iklim.
Upaya untuk memulihkan hutan yang rusak adalah sebagai berikut:
(1)   dalam jangka pendek adalah penegakan hukum. Hal ini sangat penting untuk mencegah praktek-praktek ilegal logging dan perambahan hutan yang semakin luas.
(2)   Hendaknya kegiatan pembangunan memperhatikan aspek lingkungan. Hal ini seringkali dilanggar oleh pelaksana pembangunan.
(3)   Upaya penanaman kembali hutan yang telah rusak. Penghijauan telah dilakukan namun belum efektif memulihkan kondisi hutan.
(4)   Dalam jangka menengah dapat dilakukan sosialisasi dan pendidikan lingkungan pada orang dewasa terutama yang tinggal di sekitar hutan lindung dan konservasi.
(5)   Dalam jangka panjang pendidikan lingkungan menjadi salah satu pelajaran muatan lokal baik di SD, SMP, SLTA maupun di perguruan tinggi.

Penurunan Keanekaragaman Hayati
            Sebagai akibat kerusakan hutan, pembukaan lahan, praktek pengolahan lahan yang kurang memperhatikan ekologi, pertanian monokultur dll., maka terjadi penurunan keanekaragaman hayati di Propinsi Bengkulu. Kegiatan monokultur dapat menyebabkan sebagian flora, fauna dan mikrobia musnah. Contohnya, kantong semar yang dahulu sangat banyak dijumpai di Bengkulu sekarang menjadi sedikit jumlah dan jenisnya. Kegiatan pembukaan lahan yang kurang ramah lingkungan seperti lahan disemprot  dapat menyebabkan telur-telur dan flora lainnya menjadi tidak berkembang. Satwa liar menjadi menurun dan kemudian masuk kriteria dilindungi. Satwa-satwa tersebut antara lain badak Sumatera, gajah Sumatera, harimau Sumatera, tapir, beruang madu, rusa sambar, napu, rangkong, siamang, kuao, walet hitam, penyu belimbing serta kura-kura. Ada delapan jenis kura-kura yang ada di Bengkulu yaitu kura nanas, kura garis hitam, kura patah dada, beiyogo, baning coklat, labi-labi hutan, kura pipi putih dan bulus. Baning coklat berstatus dilindungi dan sudah terancam punah. Flora langka yang ada di Bengkulu adalah Raflesia arnoldi, bunga bangkai dan anggrek pensil.
            Upaya untuk mencegah punahnya flora dan fauna langka tersebut antara lain adalah:
(1)   konservasi in-situ: upaya pelestarian flora dan fauna langka beserta ekosistemnya di kawasan konservasi. Luas hutan konservasi di Bengkulu adalah 426.203,23 ha.
(2)   konservasi ex-situ: UNIB telah mencoba membiakan Raflesia alnordi dengan menggunakan kultur jaringan, tapi belum berhasil.
(3)   program penangkaran satwa langka.
(4)   Penyuluhan tentang penangkaran satwa secara intensif.
(5)   Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang keanekaragaman hayati dan manfaatnya bagi masyarakat.
(6)   Peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
(7)   Memasukkan keanekaragaman hayati ke dalam kurikulum SD, SMP, SMU serta perguruan tinggi.
(8)   Memperluas habitat satwa liar.
Kualitas Air
            Pengolahan air di PDAM saat ini memerlukan cukup banyak tawas yang berfungsi sebagai pengikat partikel lumpur. Nilai zat padat tersuspensi dan nilai kekeruhan yang tinggi ini disebabkan oleh aktivitas lain di hulu sungai. Air yang digunakan oleh PDAM juga terindikasi tercemar batubara. Air sumur di daerah peternakan ayam mengandung banyak  E. coli yang sangat tinggi. Praktek pemotongan liar juga masih marak dilakukan oleh masyarakat, sehingga dapat menurunkan kualitas air. Kerusakan hutan juga dapat menurunkan mutu air sebagai akibat peningkatan zat padat terlarut dan zat padat tersuspensi serta kekeruhan. Kerusakan hutan juga disinyalir sebagai salah satu sebab turunnya volume air di danau Dendam.    
Pengaruh Industri
            Meskipun industri di Bengkulu masih belum banyak tetapi perencanaan pembangunan industri selanjutnya harus memperhatikan aspek lingkungan. Selama ini, pembangunan industri kurang memperhatikan aspek lingkungan.
            Aktivitas industri yang paling besar di Propinsi Bengkulu adalah penambangan batubara dan indutri pertanian (perkebunan). Penambangan batubara mempengaruhi mutu air di DAS Bengkulu-Lemau, DAS Seluma Atas dan DAS Dikit Seblat. Pengaruh industri batubara antara lain meningkatkan zat padat tersuspensi, zat padat terlarut, kekeruhan, zat besi, sulfat dan ion hidrogen dalam air yang dapat menurunkan pH. Masalah ini dapat dikurangi dengan cara pengolahan limbah yang standard dan minimisasi kebakaran.
            Perkebunan di Bengkulu terutama karet dan kelapa sawit. Akibat aktivitas ini terjadi peningkatan senyawa organik pada air, adanya sisa-sisa pestisida di DAS, peningkatan zat pada tersuspensi dan terlarut, peningkatan kadar amonia, peningkatan kadar minyak dan lemak, mempengaruhi pH dll. DAS yang terkena aktivitas ini adalah DAS Dikit Seblat, DAS Bengkulu-Lemau, badan sungai Pisang (Ipuh), sungai Betung (Muko-muko), sungai Simpang Tiga (Tais), sungai Bengkulu, dan sungai Sinaba (Ketahun).
Persampahan
            Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis.
Secara umum persampahan di Bengkulu belum menjadi masalah yang sangat serius. Namun sampah cukup menjadi masalah di lokasi-lokasi tertentu seperti pasar, terminal, pertokoan dan tempat-tempat lain yang padat penduduknya. Kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempat-tempat tertentu masih rendah, apalagi untuk mengolahnya. Di Propinsi Bengkulu setia[ rumah tangga menghasilkan limbah kira-kira sebanyak 0,8 kg/hari atau 288 kg per tahun.
            Masalah sampah di Bengkulu antara lain:
(1)   tempat sampah kurang tersedia cukup di lokasi-lokasi padat aktivitas.
(2)   Seringnya pencurian tempat-tempat sampah.
(3)   TPS kurang tersedia cukup.
(4)   Pengangkutan sampah dari TPS ke TPA kurang intensif.
(5)   Belum ada pengolahan sampah yang representatif.
(6)   Kesadaran masyarakat rendah.
Di Bengkulu TPA masih jauh dari lokasi permukiman, sehingga belum menimbulkan masalah bagi penduduk. Tipe TPA di Bengkulu pada umumnya open damping setengah mengarah ke sanitary landfill. Ke depan, TPA  sebaiknya diarahkan sepenuhnya ke sanitary landfill, sehingga masalah yang ditimbulkan sampah dapat diminimisasi. Akan lebih baik, jika sampah telah dipisahkan dan diolah langsung di sumber-sumber sampah. Open dumping tidak dianjurkan karena sampah berinteraksi langsung dengan udara luar dan hujan. Open dumping mempercepat proses perombakan sampah oleh mikrobia tanah yang menghasilkan lindi. Lindi yang terkena siraman air hujan, mudah mengalir dan meresap ke lapisan tanah bawah, sehingga mencemari air tanah. Lindi merupakan sumber utama pencemaran air baik air permukaan, air tanah yang berpengaruh terhadap sifat fisik, kimi dan mikrobia air.
Solusi permasalahan sampah antara lain sebagai berikut:
(1)  meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, keadaan lingkungan permukimana.
(2)   Program pengelolaan sampah permukiman.
(3)   Dimasukkan ke dalam kurikulum SD, SPM, SMA.
Upaya yang telah dilakukan di Bengkulu:
(1)   lomba semacam bangunpraja tingkat desa.
(2)   Pilot project pengolahan sampah. Sayang tidak berlanjut.
(3)   Program adipura.
(4)   Lokakarya tentang pengelolaan sampah kepada  kepala desa dan camat.
(5)   Adanya Perda yang mengatur persampahan, tapi belum dijalankan secara efektif.
Pelestarian Lingkungan
            Faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar masyarakat berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan antara lain:
(1)   tingkat pendidikan.
(2)   Peningkatan penghasilan.
(3)   Pengetahuan tentang kearifan lokal.
(4)   Penerapan sistem pertanian konservasi (terasering, rorak – tanah yang digali dengan ukuran tertentu yang berfungsi menahan laju aliran permukaan–, tanaman penutup tanah, pergiliran tanaman, agroforestry, olah tanam konservasi – pengolahan yang tidak menimbulkan erosi.


Persoalan lingkungan hidup
Merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar adalah :
  1. Pilar Ekonomi: menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pola konsumsi dan produksi, Teknologi bersih, Pendanaan/pembiayaan, Kemitraan usaha, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Industri, dan Perdagangan
  2. Pilar Sosial: menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Kemiskinan, Kesehatan, Pendidikan, Kearifan/budaya lokal, Masyarakat pedesaan, Masyarakat perkotaan, Masyarakat terasing/terpencil, Kepemerintahan/kelembagaan yang baik, dan Hukum dan pengawasan
  3. Pilar Lingkungan: menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pengelolaan sumberdaya air, Pengelolaan sumberdaya lahan, Pengelolaan sumberdaya udara, Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, Energi dan sumberdaya mineral, Konservasi satwa/tumbuhan langka, Keanekaragaman hayati, dan Penataan ruang
Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.

Pendidikan Lingkungan Hidup



Pendidikan lingkungan hidup adalah upaya mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.
Pendidikan lingkungan hidup (PLH) dapat dilaksanakan melalui pendidikan formal, non-formal dan informal. Pendidikan lingkungan hidup formal adalah kegiatan pendidikan hidup yang diselenggarakan melalui sekolah, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dan dilakukan secara terstruktur dan berjenjang, dengan metode pendekatan kurikulum yag terontegrasi maupun kurikulum yang monolik atau tersendiri.
Pembinaan kesadaran Lingkungan Hidup melalui kegiatan-kegiatan nyata yang dekat dengan kehidupan siswa sehari-hari, dapat membawa siswa lebih memahami dan dapat langsung mengaplikasikannya. Lingkungan sekolah merupakan lingkungan para siswa hidup sehari-hari. Didalamnya terdapat komponen-komponen Ekosistem dan Sosiosistem, jika lingkungan sekolah tersebut ditata sedemikian rupa maka akan dapat menjadi wahana pembentukan perilaku arif terhadap lingkungan (Paryadi, 2008:1).
Pendidikan lingkungan hidup non-formal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan hidup yang dilakukan di luar sekolah, yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, misalnya pelatihan AMDAL, PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Pendidikan lingkunagn hidup informal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan hidup yang dilakukan di luar sekolah dan dilaksanakan tidak terstruktur dan tidak berjenjang. Sedangkan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan lingkungan hidup formal yaitu pendididikan lingkungan hidup yang diselenggarakan melalui sekolah formal.

1.    Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia
Pendidikan lingkungan hidup diawali dengan diselenggarakannya lokakarya internasional pada tahun 1975 yang diselenggarakan di Beograd, Yugoslavia. Dari lokakarya tersebut dihasilkan pernyataan mengenai Pendidikan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan ”The Belgrade Charter – Global Frame Work for Environment Education”. Dalam Belgrade Charter tersebut dirumuskan tujuan pendidikan lingkungan hidup :
a.       Meningkatkan kesadaran dan perhatian terhadap keterkaitan di bidang ekonomi, sosial, politik, serta ekologi, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
b.       Memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan pengetahuan, ketrampilan, sikap/perilaku, motivasi dan komitmen yang diperlukan untuk bekerja secara individu untuk menyelesaikan masalah lingkungan saat ini dan mencegah munculnya masalah baru.
c.       Menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru bagi individu, kelompok dan masyarakat terhadap lingkungan hidup.
Dalam lingkup negara-negara ASEAN telah disepakati dan dikeluarkan Asean Environment Education Action Plan (AEEAP) 2000-2005. Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN juga ikut aktif dalam merancang dan melaksanakan AEEAP 2000-2005 untuk meningkatkan pendidikan lingkungan hidup.
Pendidikan lingkungan hidup di Indonesia dirintis pada tahun 1975 dengan disusunnya Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) pendidikan lingkungan hidup Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta, yang kemudian diujicobakan di 15 (lima belas) sekolah dasar di Jakarta pada tahun 1977/1978. Kemudian pada tahun 1979 dibentuk dan berkembang Pusat Studi Lingkungan di Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah baik umum maupun kejuruan, pendidikan lingkuan hidup dituangkan secara integratif dalam kurikulum 1984. Selanjutnya pada kurikulum 1994, materi pendidikan lingkungan hidup masih terintegrasi pada mata pelajaran tertentu dengan pendekatan dan metode lebih pada penguasaan materi serta lebih berorientasi pada aspek kognitif. Oleh karena itu, tamantan yang dihasilkan cenderung hanya memiliki ketrampilan menghafal dan kurang memiliki kepekaan terhadap lingkungan.

Sistem Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)



Hubungan Manusia dengan Lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan bahkan saling mempengaruhi. Lingkungan Hidup yang berkualitas akan berpengaruh baik pada manusia, sebaliknya Lingkungan Hidup yang tidak berkualitan akan memberi dampak buruk terhadap manusia.
Kualitas Lingkungan Hidup sangat banyak dipengaruhi oleh ulah manusia, beberapa kerusakan Lingkungan Hidup yang terjadi saat ini antara lain seperti penggundulan hutan, pencemaran udara, pencemaran air, berkurangnya kesuburan tanah, menipisnya lapisan ozon di atmosfer dan gejala global warming semua terjadi akibat ulah manusia.
Akibat yang terjadi manakala terjadi Pencemaran dan kerusakan Lingkungan Hidup mulai terasa oleh kita saat ini. Banyak musibah banjir di beberapa daerah, tanah longsor, kekeringan di musim kemarau dan suhu bumi yang semakin panas.
Mengingat demikian besar dampak dari Lingkungan hidup yang tidak berkualitas maka di institusi pendidikan diselenggarakan Pendidikan Lingkungan Hidup.
Dasar Hukum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH):
  1. UU RI No 20 Tahun 2007, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
  2. UU RI No 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah (Pemda)
  3. UU RI No 23 Tahun 1997, tentang Pengeloaan Lingkungan Hidup
  4. PP RI No 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan
  5. PP RI No 27 Tahun 1995, tentang Analisi Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal)
  6. Kesepakan bersama Kementrian Negara Lingkungan Hidup dengan Departemen Pendidikan Nasional Kep 07/MenLH/2005 dan No 05/VI/KB/2005 tentang Pelaksanaan Pendidikan Lingkungan Hidup.
Salah satu gambar kegiatan tentang PLH :
 

Pada tanggal 5 Juni biasa diperingati sebagai hari lingkungan hidup, momentum ini cenderung diperingati sebagai titik pijak untuk menyadarkan umat manusia memelihara lingkungan hidup. Hal terakhir itu tentu lebih relevan lagi diterapkan pada generasi muda.
Salah satu solusi untuk itu adalah melalui pendidikan lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan itu tentu sangat urgen, mengigat semakin parahnya kerusakan lingkungan hidup yang menyebabkan menurunnya kwalitas kehidupan.
Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam menentukan kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi mampu merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk kehidupan modern seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya.
Kerusakan lingkungan hidup terjadi karena adanya tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung sifat fisik dan/atau hayati sehingga lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (KMNLH, 1998). Kerusakan lingkungan hidup terjadi di darat, udara, maupun di air.
Data Departemen Kehutanan menunjukkan lahan kritis di luar kawasan hutan mencapai 15,11 juta hektar dan di dalam kawasan hutan 8,14 juta hektar. Hutan rusak dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sudah mencapai 11,66 juta hektar dan lahan bekas HPH yang diserahkan ke PT. Inhutani 2,59 juta hektar. Mangrove yang rusak dalam kawasan hutan telah mencapai luasan 1,71 juta hektar dan di luar kawasan hutan sebesar 4,19 juta hektar. Total hutan yang rusak sudah mendekati angka 57 juta hektar. Ironisnya, kapasitas lembaga yang bertanggung jawab merehabilitasi hutan dan lahan dengan inisiatif pemerintah tak cukup kuat menangani kerusakan yang terjadi.
Hal itu juga diperparah dengan kenyataan bahwa melorotnya sumber air, permukaan air bawah tanah, daerah-daerah rawa-rawa dan teluk sehingga tidak meratanya penyebaran air yang ketiadaannya menjadi pertanda bagi kematian dan kehancuran. Fakta Gangguan layanan air minum kembali dialami ratusan ribu warga Jakarta. Warga yang menjadi pelanggan PT Aetra dan PT Palyja hanya dapat merasakan pasokan air pada pukul 02.00-05.00. Itu pun dengan kondisi air yang keruh dan beraroma tidak sedap. komisaris PT Palyja, Bernard Lafrogne menjelaskan, gangguan terjadi karena saluran air di Curug banyak tersumbat pasir. Penurunan intensitas hujan di Bogor dalam beberapa hari terakhir juga menjadi faktor penyebab hal itu.
Akhirnya, benda yang semula bukan sesuatu yang susah untuk diperoleh menjadi suatu yang sangat susah dalam pemenuhannya. Akibatnya, Fenomena membeli air jerigen demi pemenuhan dahaga, bukan tidak mungkin lambat laun akan menghasilkan mafia air. Ketika musim hujan, harga air akan turun, tetapi pada kemarau panjang, harganya meninggi karena harga sudah ditentukan.
Dari permasalahan di atas, upaya pendidikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap umat manusia, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai pembangunan berwawasan lingkungan.
Pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya peningkatan kualitas kehidupan manusia secara bertahap dengan memerhatikan faktor lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan dikenal dengan nama Pembangunan Berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan kesepakatan hasil KTT Bumi di Rio de Jeniro tahun 1992. Di dalamnya terkandung 2 gagasan penting mengenai kebutuhan dan keterbatasan. Manusia yang menjadi subjek berkembang yang harus memenuhi semua kodrat alaminya untuk menopang kehidupan dengan memahami kelangkaan dan keterbatasan lingkungan dalam upaya memikirkan masa depan.
Realisasi segala upaya itu harus didukung oleh pihak yang terkait langsung dengan lingkungan tersebut. Manusia, secara sadar dan bertahap melaksanakan dan menjalankan konsep pembangunan berkelanjutan.